Memahami Musikalisasi Puisi
Tulisan ini sebelumnya berangkat dari makalah dengan judul yang
sama, yang disajikan oleh Emong Soewandi pada Seminar Sastra dalam
rangka memperingati Hari Chairil Anwar di Universitas Bengkulu, 28 April
lalu. Diturunkan kembali di sini dengan beberapa penyesuaian
sistematika untuk artikel.
Musikalisasi Puisi; Definisi yang Tak-Terdefinisikan
Apa itu musikalisasi telah menimbulkan suasana konflik pengertian
atasnya di Bengkulu. Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar dan
menerima langsung keluhan beberapa kawan-kawan dan guru-guru, yang
berangkat dari ketidakpuasan mereka atas lomba-lomba musikalisasi puisi
yang diselenggarakan. Ketidakpuasaan yang kemudian menciptakan konflik
ini terjadi, karena adanya perbedaan tentang pengertian musikalisasi
puisi antara mereka/peserta dengan dewan juri/panitia.
Realitanya, belum ada definisi musikalisasi puisi yang mutakhir.
Bahkan dalam banyak buku-teks sastra tidak mengenal, apalagi
pembahasannya tentang musikalisasi puisi. Selain itu, istilah
musikalisasi puisi sendiri pun belum disepakati secara umum. Ada
beberapa seniman atau sastrawan yang menolak istilah itu. Musikalisasi
puisi dipandang sebagai istilah yang kurang tepat dan rancu
Dari kondisi ini, maka dapat saja setiap individu memberikan
pengertian yang berbeda-beda tentang konsep musikalisasi puisi. Beberapa
situasi pemahaman atas musikalisasi adalah sebagai berikut:
- bahwa dalam musikalisasi puisi tidak boleh ada orang membaca puisi, jika ada pembacaan puisi, maka itu bukan musikalisasi puisi;
- bahwa dalam musikalisasi puisi boleh saja ada orang membaca puisi,
sebab tidak semua kata-kata dalam puisi bisa dimusikalisasikan;
- bahwa orang membaca puisi diiringi alat musik bukan musikalisasi puisi; dan
- bahwa orang membaca puisi diiringi alat musik juga merupakan kegiatan musikalisasi puisi
Mengapa musikalisasi puisi tidak terdefinisikan? Dan mengapa pula istilah itu sering ditolak?
Pertama, bahwa secara etimologi musikalisasi puisi merupakan dua
konstruksi yang hampir identik, yakni musik dan puisi. Puisi telah
memiliki musik tersendiri (akan dijelaskan kelak), maka mengapa pula
lagi harus dimusikalisasikan dengan memberikan unsur musik kepada puisi.
Imam Budi Santosa pernah mengusulkan istilah musik puisi, yang
tekanannya pada kolaborasi musik dan puisi. Sementara dalam musikalisasi
puisi, puisi yang memiliki aturan-aturan dan kaidah-kaidah sendiri
dipandang harus tunduk menjadi objek, yang bisa diperlakukan apa saja
dalam proses itu.
Kedua, musikalisasi puisi merupakan kegiatan yang bersifat kreatif.
Kreatif, artinya gagasan memusikalisasikan puisi didasari oleh dan dari
keinginan-keinginan individual bersifat subyektif yang bertujuan untuk
kepuasan pribadi. Puisi, selain sebagai karya sastra yang harus
diinterpretasikan, juga dapat menjadi medium kreativitas. Sama seperti
dramatisasi puisi, yang juga merupakan kegiatan kreatif. Dan ketiga,
karena bersifat kreatif, maka musikalisasi puisi pun tidak memiliki
kategori-kategori, batasan, atau aturan-aturan yang bersifat mengikat.
Pengertian Musik; Musik Tidak Identik dengan Lagu
Musik (music) sering dipahami sama dengan lagu (song). Berangkat dari
pengertian inilah, maka musikalisasi puisi sering terjerumus pada
anggapan mengubah sebuah puisi menjadi lagu. Ini jelas kurang tepat,
karena musik tidak identik dengan lagu.
Musik yang berasal dari bahasa Inggris, music, (apa padanannya dalam
bahasa Indonesia?) secara sederhana memiliki pengertian berirama, suatu
susunan bunyi-bunyi bernada yang membentuk sebuah irama tertentu yang
harmoni. Sementara pengertian lagu (dari bahasa Arab; al laghwu) lebih
ditujukan pada suatu teks yang dengan sengaja dan sadar dinotasikan
dengan nada-nada tertentu dan dibentuk oleh melodi.
Tanpa lagu pun sebuah konstruksi musik pun tetap dapat terbangun.
Simponi klasik misalnya, secara umum tidak memiliki teks. Demikian juga
instrumentalia ala Kitaro, Kenny G., atau Francis Goya sebagian besar
juga tidak memiliki teks. Selain itu ada juga nyanyian, seperti nasyid,
choral, al chapella, rubaiyah, syair atau gending, yakni lagu yang
mengandalkan kemampuan musik alami manusia dan tidak memerlukan alat
musik pengiring.
Musik dalam Puisi: Irama, Rima dan Ragam Bunyi Sebagai Unsur Musik dalam Puisi
Satu konvensi dalam menulis puisi yang diikuti penyair adalah
kemampuan untuk membangun unsur musik dalam karyanya itu, dalam hal ini
irama. Ini sering terlupakan oleh kita dalam kegiatan musikalisasi
puisi, bahwa puisi sendiri telah memiliki unsur musik.
Penyair ketika menyusun kata-kata dalam puisinya akan memperhitungkan
irama, agar suasana dan makna puisi tersebut dapat tercapai. Tanpa
harus mengatakan suasana apa dalam puisi, tetapi dengan mengatur
komposisi kata-kata, maka puisi akan dapat membangun suasana.
Menyusun rima salah satunya, adalah satu kegiatan untuk mengatur
fisik puisi agar tercipta irama. Kita mengenal dalam puisi ada rima
akhir, rima awal, ada asonansi (runtun bunyi-bunyi vokal) dan ada
aliterasi (runtun bunyi-bunyi konsonan). Penggunaan kata-kata onomatope
juga berfungsi untuk membangun suasana musikal pada puisi. Selain itu
ada juga bunyi cachoponi dan euphony yang berfungsi membentuk suasana
musikal pada puisi.
Dari penjelaskan di atas, maka selain sama-sama memiliki teks,
kesamaan dasar antara puisi dan lagu, yakni sama-sama memiliki unsur
musik.. Perbedaannya terletak pada materi dasar pembentukan musik itu.
Jika musik pada puisi dibentuk oleh kata dan komposisi kata, maka musik
pada lagu dibentuk oleh nada dan melodi.
Hakikat Puisi adalah Pembacaan; Keterbatasan Musikalisasi Puisi
Puisi tercipta untuk dibaca, karenanya membaca dan puisi bagai dua
sisi keping mata uang. Pembacaan diperlukan karena puisi mengandung
sistem kode yang rumit dan kompleks. Ada kode bahasa, kode budaya dan
kode sastra. Untuk memahami sebuah puisi, maka pengetahuan akan ketiga
kode ini sangat diperlukan.
Musikalisasi puisi pun harus beranjak dari konsep pembacaan ini.
Pembacaan yang diintegrasikan dengan nada dan melodi dapat memperkuat
suasana puisi, memperjelas makna dan ikut membantu membentuk karakter
puisi itu sendiri. Karena itu, dalam kegiatannya, jangan memaksakan
totalitas puisi menjadi lagu, jika memang dapat merusak, bahkan
menghancurkan puisi itu sendiri.
Banyak bagian puisi hanya akan kuat kalau dibacakan, yang justru akan hancur kalau dilagukan. Misalnya tempo dan negasi.
Tempo dalam puisi berfungsi untuk mendapat efek, dan negasi (saat
diam) berfungsi untuk menciptakan suasana kontemplatif, sugestif dan
aperseptif dalam sebuah puisi. Dalam pembacaan puisi, negasi juga bisa
membantu seorang pembaca untuk improvisasi, jika mengalami “habis
napas”. Dalam satu bait puisi dapat dimungkinkan terdapat beberapa tempo
yang berbeda, dan bisa terjadi beberapa kali perubahan negasi.
Sementara pada lagu, negasi tidak ada. Persamaan istilah yang mungkin
mendekati adalah kadens. Pada lagu kadens adalah jeda antara satu frase
dengan frase berikutnya, bait satu ke bait berikutnya, atau saat menuju
refrain dan fading. Sedangkan tempo pada lagu dikandung oleh satu
konstruksi bait, yang ditentukan kecepatan gerak pulsa dalam tiap-tiap
notasi. Namun, keseluruhan lagu tersebut dapat pula lebih dahulu
ditentukan temponya, seperti adanya istilah-istilah forte, piano forte,
allegro, adagia dan sebagainya.
Tempo dan kadens pada lagu umumnya bersifat permanen dan telah
ditentukan sebelumnya oleh pencipta lagu tersebut. Sedangkan, tempo dan
negasi pada puisi dipengaruhi oleh dua hal, pertama suasana asli puisi
dan kedua ditentukan oleh situasi apresiasi.
Tempo dan negasi adalah dua ciri khas membaca puisi yang sulit untuk
dilagukan. Jika pun dipaksa untuk dilagkan, maka dapat terjadi
disharmoni irama lagu itu sendiri. Karena itu, dalam kegiatan
musikalisasi puisi, bait dan bagian-bagiannya atau beberapa larik dalam
bait jika memiliki tempo dan negasi yang ketat, maka pada bagian ini
disarankan untuk tetap dibacakan, tidak dilagukan. (Sebagai
modifikasinya dan improvisasi, pada bagian ini diisi saja dengan bunyi
alat musik).
Selain tempo dan negasi, enjambemen puisi merupakan hambatan
tersendiri dalam musikalisasi puisi. Enjambemen adalah pemenggalan baris
dan hubungan antara baris. Dengan adanya enjambemen ini, maka
pemenggalan baris-baris puisi oleh penyairnya menentukan makna puisi.
Banyak puisi yang secara tipografik tidak menggunakan tanda baca atau
tidak mengenal huruf kapital, hingga menjadi kesulitan tersendiri dalam
menentukan enjambemen suatu puisi. Suatu tindakan yang sangat tidak
apresiatif, jika kita mengorbankan enjambemen sebuah puisi, atau tidak
mengindahkannya dalam kegiatan musikalisasi puisi, demi harmonisasi
irama lagu.
Puisi harus tetap puisi. Musikalisasi puisi harus tetap menghormati
puisi sebagai teks sastra, tidak bertujuan mengubahnya sebagai teks
lagu. Puisi dasarnya tidak ditujukan sebagai teks lagu, maka banyak
puisi memiliki peluang yang kecil untuk dapat dilagukan. Teks puisi
diciptakan oleh penyairnya pada hakikatnya adalah untuk dibaca,
sedangkan teks lagu dibuat memang dengan tujuan untuk dilagukan.
Tan Lio Ie menyatakan, jangan menjadikan puisi subordinat dalam
musikalisasi puisi. Pernyataan benar, karena banyak keterbatasan dalam
memusikalisasikan puisi. Jangan mengorbankan puisi demi menjadi lagu,
walaupun menjadi lagu yang baik sekalipun, namun merusak puisi itu
MENYUSUN ULANG KONVENSI DI SEKITAR MUSIKALISASI PUISI
Membaca Puisi Diiringi Alat Musik Bukan Musikalisasi Puisi
Pemikiran ini mungkin tidak bisa begitu dipaksakan. Dalam Materi
Pelatihan Bahasa dan Sastra Indonesia Kurikulum Berbasis Kompetensi
dijelaskan, bahwa kegiatan membaca puisi diiringi alat musik termasuk
kegiatan musikalisasi puisi. Penjelasan ini, bagi para juri atau panitia
lomba musikalisasi puisi, harus dipertimbangkan, agar tidak bersikukuh
mengatakan membaca puisi diiringi alat musik bukan musikalisasi puisi.
Namun teta diperhatikan, bahwaalat musik tersebut tidak hanya sekedar
mengiringi pembacaan puisi belaka, yang mungkin membuat puisi cuma jadi
semakin enak dinikmati. Fredy Arsi, pemimpin Sanggar Matahari yang
bekerja sama dengan Pusat Bahasa telah mengeluarkan album musikalisasi
puisi, menyarankan agar musik atau alat musik di sini harus mampu
berintegrasi dengan puisi, di mana musik yang dipergunakan memang
diaransemen atau diimprovisasikan untuk dapat mengikuti irama dan musik
yang ada pada puisi dan semakin memperjelas suasana puisi.
Lagu-lagu Ebiet G. Ade sebagai Contoh
Lagu-lagu Ebiet G. Ade sering dijadikan contoh sebagai hasil
musikalisasi puisi. Ini jelas kurang tepat dan kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Kita lupa, bahwa Ebiet G. Ade tidak mencipta
puisi, tetapi dia memang mencipta lagu. Ebiet G. Ade tidak dapat
dianggap sebagai penyair, dia adalah pencipta lagu dan penyanyi. Belum
pernah ada, misalnya antologi puisi-puisi Ebiet G. Ade.
Benar, sebagian lagu-lagu yang dibawakan oleh Bimbo adalah hasil
musikalisasi puisi, sebut saja lagu “Salju”, puisinya Wing Kardjo,
“Balada Sekeping Taman Surga”, “Sajadah” atau “Rindu Kami Padamu Ya
Rasul” merupakan puisi-puisi Taufik Ismail. Benar pula ada lagu-lagu
Iwan Fals berangkat dari musikalisasi puisi, seperti “Kantata Takwa” dan
“Sang Petualang” dan “Paman Doblang” adalah puisi-puisi Rendra, di mana
dalam lagu ini kita mendengar Rendra membaca puisi, sementara lagu
“Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan” adalah musikalisasi puisi
mbelingnya Remi Sylado. Sementara “Perahu Retak” karya Taufik Ismail
dimusikalisasikan oleh Franky Sahilatua.
Benar pula, lagu-lagu Ebiet G. Ade sebagaimana juga lagu-lagu Leo
Kristi, Ulli Sigar Rusady, Franky dan Jane, lagu-lagu Gombloh 1970-an
dan juga sebagian lagu-lagu Katon Bagaskara memiliki kata-kata yang
puitik, tetapi itu semua bukan puisi. Itu semua adalah lagu! Bahkan,
banyak lagu-lagu puitik tersebut tidak begitu berhasil ketika dibacakan
atau dideklamasikan, karena memang struktur dasarnya adalah untuk
dilagukan, bukan dibaca.
Monotonitas Irama
Irama pada puisi yang dilagukan umumnya cenderung monoton. Produksi
nada umumnya adalah staccato, dengan nada-nada pendek dan
terputus-putus. Ini tidak saatnya lagi. Jangan ragu melagukan puisi
dalam irama rock atau dangdut sekalipun, jika memang teks puisi memiliki
peluang untuk itu.
Penutup; Solusi Akhir
Musikalisasi puisi sendiri hingga hari ini belumlah merupakan sebuah
alat atau metode apresiasi karya sastra. Dia sebagaimana juga
dramatisasi puisi merupakan kegiatan yang bersifat kreatif dan inovatof,
sebagai ungkapan kita dalam mengeksresikan sebuah karya sastra secara
bebas. Sebagai perbandingan, parafrase puisi pada awal-awalnya pun
adalah sebuah teknik kreatif untuk memahami puisi, namun saat ini telah
diterima sebagai metode atau teknik apresiasi yang fixed.
Namun, dalam sebuah kegiatan khusus, dalam lomba misalnya, perbedaan ini akan jadi konflik jika tidak terjembatani.
Dalam lomba musikalisasi puisi, perbedaan persepsi tentang
musikalisasi wajib dipahami oleh panitia atau penyelenggara lomba,
sehingga tidak total menyerahkannya saja kepada otoritas dewan juri,
yang tentu memiliki persepsi sendiri apa itu musikalisasi puisi.
Penentuan kriteria yang jelas tentang konsep musikalisasi puisi yang
dipakai dapat meminimalisasikan konflik yang akan timbul. Penjelasan ini
dapat dilakukan dalam pertemuan-teknis yang dilakukan beberapa hari
menjelang lomba.
Jangan memberikan kesempatan kepada peserta lomba untuk menafsir
kriteria lomba! Fakta, selain kriteria tertulis sendiri yang sering
kabur dan multi-tafsir, bahwa dalam pertemuan-teknis (technical meeting)
sebelum lomba, lazim yang dilakukan oleh panitia hanyalah penentuan
nomor urut tampil, langka ditemui dalam pertemuan teknis, panitia
beserta dewan juri memberikan penjelasan tentang kriteria yang akan
dipergunakan.
(Tulisan aslinya adalah makalah Emong Soewandi, Pegiat Seni di Teater Petak Rumbia Bengkulu dan Guru SMP di Kepahiang)
Sumber:
Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
http://www.jurnalnasional.com/artikel/…. sjifa amori: bukan lirik konvensional.
http://www.minggupagi.com/print.php?sid=93970…. sri wintala ahmad: festival musik puisi lagi untuk 2005? siapa penyelenggaranya?
Jamalus dan Hamzah Busroh. 1992. Pendidikan Kesenian. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Nurhadi (ed.). 1987. Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya. Malang: IKIP Malang.
Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soewandi, Emong. 2007. Menuju Proses Kreativitas Penyair Bengkulu.
Makalah untuk Simposium Sastra Sumatera, Desember 2007, Pekanbaru –
Riau.